IACBET ~ Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengingatkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk tidak memainkan isu SARA atau politik identitas.
Anies diharapkan dapat meredakan suasana dengan melakukan rekonsiliasi warga DKI yang terbelah pasca-Pilkada lalu.
Hal itu disampaikan Burhanudin menyikapi pidato Anies yang menyinggung kata "pribumi" setelah resmi menjabat Gubernur DKI. Pernyataan Anies itu menuai polemik.
Burhanuddin menilai, sebagai seorang bergelar Phd bilang politik, Anies secara sadar menyelipkan kata pribumi dalam pidato 22 menitnya.
Ia menduga, Anies tengah mengirim pesan kepada kelompok pemilih tertentu. Hal itu, kata dia, ada kaitannya dengan pemilu presiden 2019.
Pasalnya, dalam pidatonya, Anies mengutip pribahasa lokal dari berbagai daerah seperti Minahasa, Madura, Batak. Ia menilai, Anies tidak sedang berbicara berkaitan pelantikan Gubernur DKI.
"Menurut saya, Anies sedang menyapa Indonesia," kata Burhanuddin dalam wawancara dengan Metro TV.
Jika membaca rangkaian kalimat yang diucapkan Anies, Burhanuddin menganggap, kata "pribumi" tidak hanya untuk menggambarkan sejarah masa lalu seperti yang dijelaskan Anies.
"Setelah kata-kata 'rakyat pribumi yang dulu dikalahkan dan ditindas', setelah kata-kata itu langsung ada pernyataan 'kini saatnya setelah kita merdeka, kita menjadi tuan rumah di negeri sendiri'. Terus kemudian diikuti dengan kutipan terhadap peribahasa Madura yang kira-kira yang disampaikan adalah ibarat itik yang bertelur, ayam yang mengerami," kata dia.
"Ibarat kita yang bekerja keras orang lain yang menikmati. Jadi kalau kita baca satu rangkaian itu, setidaknya kalimat terakhir yang mengikuti kata pribumi itu jelas menunjuk pada konteks sekarang," tambah Burhanuddin.
Burhanuddin menganggap bagus jika kata pribumi itu satu narasi dengan apa yang disampaikan Anies tentang keberpihakan dan keadilan.
Narasi tentang keadilan, kesenjangan yang harus diperangi, kata dia, adalah isu yang baik untuk diekploitasi.
Isu pribumi dan nonpribumi, tambah dia, memang harus diselesaikan dari akarnya, yakni ketidakadilan sosial. Hal itu menjadi bagian yang harus dikirimkan kepada pemerintah.
Namun kenyataannya, kata dia, kata pribumi kemudian dikaitkan banyak orang dengan spanduk di depan Balai Kota yang isinya terpilihnya Anies adalah kebangkitan pribumi Muslim.
"Jadi ada sebuah narasi besar yang dibangun dengan mendasarkan diri pada ras. Nah, ini yang saya terus terang menolaknya karena bagaimana pun istilah pribumi itu warisan dari politik kolonial yang membagi lokal waktu itu menjadi tiga kategori. Eropa, kemudian timur asing, di dalamnya Cina, Arab, India, kemudian ada inlander pribumi," kata Burhanuddin.
"Dari sisi pembagian saja sudah rasis. Kalau kemudian itu direproduksi untuk kepentingan elektoral, yang berbahaya adalah kebangsaan kita, kemajemukan kita," tambah dia.
Burhanuddin menilai, sah saja jika Anies memang ingin maju Pilpres 2019. Presiden Joko Widodo juga pernah melakukan hal yang sama ketika menjadi Gubernur DKI.
Ia menduga, Anies sudah berhitung sebelum menyinggung soal pribumi. Mereka yang meributkan pidato Anies tersebut, kata dia, bukan pendukung Anies-Sandiaga Uno pada Pilkada lalu.
"Tapi secara moral kita harus akui bahaya. Jadi terlalu bahaya buat kita mengambil risiko dengan menaikan elektabilitas semata-semata dengan menggunakan istilah yang secara problematik bisa memunculkan perpecahan. Jadi saran saya stop di situ," ujarnya.
"Ketika beliau sudah menjabat seharusnya isu agama, isu SARA, isu politik identitas selesai dibilik suara. Yang terjadi justru masih muncul menjadi suatu kartu yang kemungkinan bisa dieksploitasi untuk kepentingan yang lebih panjang. Nah, ini yang membahayakan kalau kita bermain-main dengan isu politik identitas," pungkas Burhanuddin.
Bukan era sekarang
Anies sebelumnya mengatakan bahwa pidato politiknya itu terkait masa penjajahan Belanda di Indonesia, termasuk Jakarta. Dia tidak merujuk penggunaan kata tersebut di era sekarang.
"Oh, istilah itu (pribumi) digunakan untuk konteks pada era penjajahan karena saya menulisnya juga pada era penjajahan dulu," ujar Anies di Balai Kota DKI Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan, Selasa (17/10/2017).
Anies mengatakan, Jakarta adalah kota yang paling merasakan penjajahan Belanda di Indonesia. Sebab, penjajahan itu terjadi di Ibu Kota.
"Yang lihat Belanda jarak dekat siapa? Jakarta. Coba kita di pelosok-pelosok itu, tahu ada Belanda, tapi lihat depan mata? Enggak. Yang lihat depan mata itu kita yang di kota Jakarta," kata Anies.
Anies diharapkan dapat meredakan suasana dengan melakukan rekonsiliasi warga DKI yang terbelah pasca-Pilkada lalu.
Hal itu disampaikan Burhanudin menyikapi pidato Anies yang menyinggung kata "pribumi" setelah resmi menjabat Gubernur DKI. Pernyataan Anies itu menuai polemik.
Burhanuddin menilai, sebagai seorang bergelar Phd bilang politik, Anies secara sadar menyelipkan kata pribumi dalam pidato 22 menitnya.
Ia menduga, Anies tengah mengirim pesan kepada kelompok pemilih tertentu. Hal itu, kata dia, ada kaitannya dengan pemilu presiden 2019.
Pasalnya, dalam pidatonya, Anies mengutip pribahasa lokal dari berbagai daerah seperti Minahasa, Madura, Batak. Ia menilai, Anies tidak sedang berbicara berkaitan pelantikan Gubernur DKI.
"Menurut saya, Anies sedang menyapa Indonesia," kata Burhanuddin dalam wawancara dengan Metro TV.
Jika membaca rangkaian kalimat yang diucapkan Anies, Burhanuddin menganggap, kata "pribumi" tidak hanya untuk menggambarkan sejarah masa lalu seperti yang dijelaskan Anies.
"Setelah kata-kata 'rakyat pribumi yang dulu dikalahkan dan ditindas', setelah kata-kata itu langsung ada pernyataan 'kini saatnya setelah kita merdeka, kita menjadi tuan rumah di negeri sendiri'. Terus kemudian diikuti dengan kutipan terhadap peribahasa Madura yang kira-kira yang disampaikan adalah ibarat itik yang bertelur, ayam yang mengerami," kata dia.
"Ibarat kita yang bekerja keras orang lain yang menikmati. Jadi kalau kita baca satu rangkaian itu, setidaknya kalimat terakhir yang mengikuti kata pribumi itu jelas menunjuk pada konteks sekarang," tambah Burhanuddin.
Burhanuddin menganggap bagus jika kata pribumi itu satu narasi dengan apa yang disampaikan Anies tentang keberpihakan dan keadilan.
Narasi tentang keadilan, kesenjangan yang harus diperangi, kata dia, adalah isu yang baik untuk diekploitasi.
Isu pribumi dan nonpribumi, tambah dia, memang harus diselesaikan dari akarnya, yakni ketidakadilan sosial. Hal itu menjadi bagian yang harus dikirimkan kepada pemerintah.
Namun kenyataannya, kata dia, kata pribumi kemudian dikaitkan banyak orang dengan spanduk di depan Balai Kota yang isinya terpilihnya Anies adalah kebangkitan pribumi Muslim.
"Jadi ada sebuah narasi besar yang dibangun dengan mendasarkan diri pada ras. Nah, ini yang saya terus terang menolaknya karena bagaimana pun istilah pribumi itu warisan dari politik kolonial yang membagi lokal waktu itu menjadi tiga kategori. Eropa, kemudian timur asing, di dalamnya Cina, Arab, India, kemudian ada inlander pribumi," kata Burhanuddin.
"Dari sisi pembagian saja sudah rasis. Kalau kemudian itu direproduksi untuk kepentingan elektoral, yang berbahaya adalah kebangsaan kita, kemajemukan kita," tambah dia.
Burhanuddin menilai, sah saja jika Anies memang ingin maju Pilpres 2019. Presiden Joko Widodo juga pernah melakukan hal yang sama ketika menjadi Gubernur DKI.
Ia menduga, Anies sudah berhitung sebelum menyinggung soal pribumi. Mereka yang meributkan pidato Anies tersebut, kata dia, bukan pendukung Anies-Sandiaga Uno pada Pilkada lalu.
"Tapi secara moral kita harus akui bahaya. Jadi terlalu bahaya buat kita mengambil risiko dengan menaikan elektabilitas semata-semata dengan menggunakan istilah yang secara problematik bisa memunculkan perpecahan. Jadi saran saya stop di situ," ujarnya.
"Ketika beliau sudah menjabat seharusnya isu agama, isu SARA, isu politik identitas selesai dibilik suara. Yang terjadi justru masih muncul menjadi suatu kartu yang kemungkinan bisa dieksploitasi untuk kepentingan yang lebih panjang. Nah, ini yang membahayakan kalau kita bermain-main dengan isu politik identitas," pungkas Burhanuddin.
Bukan era sekarang
Anies sebelumnya mengatakan bahwa pidato politiknya itu terkait masa penjajahan Belanda di Indonesia, termasuk Jakarta. Dia tidak merujuk penggunaan kata tersebut di era sekarang.
"Oh, istilah itu (pribumi) digunakan untuk konteks pada era penjajahan karena saya menulisnya juga pada era penjajahan dulu," ujar Anies di Balai Kota DKI Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan, Selasa (17/10/2017).
Anies mengatakan, Jakarta adalah kota yang paling merasakan penjajahan Belanda di Indonesia. Sebab, penjajahan itu terjadi di Ibu Kota.
"Yang lihat Belanda jarak dekat siapa? Jakarta. Coba kita di pelosok-pelosok itu, tahu ada Belanda, tapi lihat depan mata? Enggak. Yang lihat depan mata itu kita yang di kota Jakarta," kata Anies.