Info Bola - Juventus tampil sensasional pada musim 2016/2017. Kesebelasan berjuluk Si Nyonya Tua ini memiliki kans untuk meraih treble pada musim ini. Setelah memastikan diri meraih gelar juara Serie A dan Coppa Italia, Juve akan menjalani laga final Liga Champions menghadapi Real Madrid pada Minggu (4/6) dini hari WIB mendatang untuk menyempurnakan pencapaian musim ini.
Juventus melangkah ke babak final setelah pada babak semifinal menyingkirkan wakil Prancis, AS Monaco. Pada leg pertama, skuat asuhan Massimilliano Allegri ini meraih kemenangan 2-0. Pada leg kedua, Juve menang dengan skor 2-1. Sebelumnya, pada perjalanannya ke partai puncak yang berlangsung di Cardiff, Wales, Juve berhasil menyingkirkan Sevilla, Dinamo Zagreb dan Olympique Lyon di fase grup, serta menaklukkan FC Porto, dan Barcelona pada fase gugur.
Di laga final, Juventus pun cukup diunggulkan meski lawan yang dihadapi adalah Real Madrid, kesebelasan tersukses di Liga Champions dengan 11 gelar. Lantas, apa yang membuat Bianconeri bisa melenggang sempurna ke partai final?
Kekuatan: Fleksibilitas Pola Permainan untuk Mengokohkan Pertahanan
Para penggawa Juventus menghadapi laga ini dengan lebih percaya diri dibanding 2015, ketika ditaklukkan Barcelona pada partai final Liga Champions. Hal ini tak mengherankan karena dari 12 laga yang mereka jalan di Liga Champions musim ini, tak sekalipun Gianluigi Buffon mengalami kekalahan. Juve meraih sembilan kemenangan dan tiga kali hasil sering pada Liga Champions musim ini. Catatan ini sedikit lebih baik dari sang lawan, Real Madrid, yang menelan satu kekalahan di 12 laga mereka.
Juventus punya keseimbangan dari segi pertahanan maupun menyerang pada musim ini. Selain gelontoran gol yang membuat lawan-lawan Si Nyonya Tua gigit jari, Juve juga sangat sulit dibobol lawan. Tercatat hanya tiga gol saja yang bersarang ke gawang Buffon dari 11 laga (satu laga lain pos penjaga gawang diisi oleh Neto Murara yang mencatatkan clean sheet).
Tiga gol yang merobek jala Juve memang menempatkan mereka menjadi kesebelasan dengan kebobolan tersedikit kedua, di bawah FC Kobenhavn yang hanya kebobolan dua gol. Namun perlu diketahui, kesebelasan asal Denmark tersebut hanya bermain enam laga, langsung tersingkir sejak fase grup, tak seperti Juventus yang menjalani pertandingan dua kali lipat lebih banyak untuk mencapai partai final.
Lini pertahanan memang menjadi salah satu kunci keberhasilan Juventus pada musim, tak terkecuali di Liga Champions. Lini serang lawan-lawan yang mereka hadapi berhasil dibuat tak berkutik. Barcelona yang mengandalkan Trio MSN (Lionel Messi, Luis Suarez dan Neymar), tak bisa mencetak sebiji gol pun dalam dua leg perempat final. AS Monaco yang mencetak lebih dari 100 gol pada musim ini, hanya sekali saja membobol gawang Buffon. Torehan sembilan clean sheet dari 12 pertandingan Liga Champions memang menjadi catatan cemerlang Juventus.
Saat bertahan, Juventus memang terpaku pada barisan terakhir pertahanan plus gelandang bertahan. Bisa dibilang, ke-10 pemain lapangan Juventus punya peran masing-masing dalam membentuk pola pertahanan ketika mendapatkan serangan lawan. Jarak antar pemain yang rapat membuat lawan tak berkutik untuk menciptakan peluang di area kotak penalti.
"Tak penting kami memasang tiga atau empat bek di lini pertahanan, semuanya relatif. Kesebelasan ini bertahan dengan 11 pemain," ujar bek Juventus, Giorgio Chiellini, pada laman resmi Juventus.
Apa yang dikatakan Chiellini memang bukan omong kosong belaka. Formasi dasar di awal pertandingan tak menjadi patokan khusus posisi pemain saat tak menguasai bola, baik itu kala bermain dengan 3-4-3 maupun 4-2-3-1. Saat bertahan, Juve bisa terlihat memakai pola 4-4-2 atau 5-3-2.
Fleksibilitas pola pertahanan ini tak lepas dari gaya pertahanan Juventus yang lebih man-oriented saat melakukan penjagaan pemain, bukan zonal marking. Sebagai contoh, Dani Alves berhasil mematikan winger kiri Barcelona, Neymar, dengan terus mengikuti pergerakan kapten timnas Brasil tersebut.
Alves, juga Alex Sandro yang menempati posisi full-back kiri (terkadang dilakukan oleh Mario Mandzukic), memegang peranan penting dalam transisi dari menyerang ke bertahan Juventus. Keduanya bertugas untuk menekan pemain sayap lawan yang sedang menguasai bola, sebagaimana kesebelasan-kesebelasan yang banyak menggunakan pola 4-3-3 atau 4-2-3-1. Saat full-back menekan, pemain lain menjaga jarak antar pemain untuk lebih dekat (narrow) baik itu menjadi 5-3-2 maupun 4-4-2. Agen Bola
Juventus melangkah ke babak final setelah pada babak semifinal menyingkirkan wakil Prancis, AS Monaco. Pada leg pertama, skuat asuhan Massimilliano Allegri ini meraih kemenangan 2-0. Pada leg kedua, Juve menang dengan skor 2-1. Sebelumnya, pada perjalanannya ke partai puncak yang berlangsung di Cardiff, Wales, Juve berhasil menyingkirkan Sevilla, Dinamo Zagreb dan Olympique Lyon di fase grup, serta menaklukkan FC Porto, dan Barcelona pada fase gugur.
Di laga final, Juventus pun cukup diunggulkan meski lawan yang dihadapi adalah Real Madrid, kesebelasan tersukses di Liga Champions dengan 11 gelar. Lantas, apa yang membuat Bianconeri bisa melenggang sempurna ke partai final?
Kekuatan: Fleksibilitas Pola Permainan untuk Mengokohkan Pertahanan
Para penggawa Juventus menghadapi laga ini dengan lebih percaya diri dibanding 2015, ketika ditaklukkan Barcelona pada partai final Liga Champions. Hal ini tak mengherankan karena dari 12 laga yang mereka jalan di Liga Champions musim ini, tak sekalipun Gianluigi Buffon mengalami kekalahan. Juve meraih sembilan kemenangan dan tiga kali hasil sering pada Liga Champions musim ini. Catatan ini sedikit lebih baik dari sang lawan, Real Madrid, yang menelan satu kekalahan di 12 laga mereka.
Juventus punya keseimbangan dari segi pertahanan maupun menyerang pada musim ini. Selain gelontoran gol yang membuat lawan-lawan Si Nyonya Tua gigit jari, Juve juga sangat sulit dibobol lawan. Tercatat hanya tiga gol saja yang bersarang ke gawang Buffon dari 11 laga (satu laga lain pos penjaga gawang diisi oleh Neto Murara yang mencatatkan clean sheet).
Tiga gol yang merobek jala Juve memang menempatkan mereka menjadi kesebelasan dengan kebobolan tersedikit kedua, di bawah FC Kobenhavn yang hanya kebobolan dua gol. Namun perlu diketahui, kesebelasan asal Denmark tersebut hanya bermain enam laga, langsung tersingkir sejak fase grup, tak seperti Juventus yang menjalani pertandingan dua kali lipat lebih banyak untuk mencapai partai final.
Lini pertahanan memang menjadi salah satu kunci keberhasilan Juventus pada musim, tak terkecuali di Liga Champions. Lini serang lawan-lawan yang mereka hadapi berhasil dibuat tak berkutik. Barcelona yang mengandalkan Trio MSN (Lionel Messi, Luis Suarez dan Neymar), tak bisa mencetak sebiji gol pun dalam dua leg perempat final. AS Monaco yang mencetak lebih dari 100 gol pada musim ini, hanya sekali saja membobol gawang Buffon. Torehan sembilan clean sheet dari 12 pertandingan Liga Champions memang menjadi catatan cemerlang Juventus.
Saat bertahan, Juventus memang terpaku pada barisan terakhir pertahanan plus gelandang bertahan. Bisa dibilang, ke-10 pemain lapangan Juventus punya peran masing-masing dalam membentuk pola pertahanan ketika mendapatkan serangan lawan. Jarak antar pemain yang rapat membuat lawan tak berkutik untuk menciptakan peluang di area kotak penalti.
"Tak penting kami memasang tiga atau empat bek di lini pertahanan, semuanya relatif. Kesebelasan ini bertahan dengan 11 pemain," ujar bek Juventus, Giorgio Chiellini, pada laman resmi Juventus.
Apa yang dikatakan Chiellini memang bukan omong kosong belaka. Formasi dasar di awal pertandingan tak menjadi patokan khusus posisi pemain saat tak menguasai bola, baik itu kala bermain dengan 3-4-3 maupun 4-2-3-1. Saat bertahan, Juve bisa terlihat memakai pola 4-4-2 atau 5-3-2.
Fleksibilitas pola pertahanan ini tak lepas dari gaya pertahanan Juventus yang lebih man-oriented saat melakukan penjagaan pemain, bukan zonal marking. Sebagai contoh, Dani Alves berhasil mematikan winger kiri Barcelona, Neymar, dengan terus mengikuti pergerakan kapten timnas Brasil tersebut.
Alves, juga Alex Sandro yang menempati posisi full-back kiri (terkadang dilakukan oleh Mario Mandzukic), memegang peranan penting dalam transisi dari menyerang ke bertahan Juventus. Keduanya bertugas untuk menekan pemain sayap lawan yang sedang menguasai bola, sebagaimana kesebelasan-kesebelasan yang banyak menggunakan pola 4-3-3 atau 4-2-3-1. Saat full-back menekan, pemain lain menjaga jarak antar pemain untuk lebih dekat (narrow) baik itu menjadi 5-3-2 maupun 4-4-2. Agen Bola